Rabu, 19 Agustus 2015

Menyikapi e-Faktur Bagi PKP Rekanan Pemerintah

Menyikapi e-Faktur Bagi PKP Rekanan Pemerintah

Bagi Pengusaha yang hanya bertransaksi dengan pemerintah, tentunya inovasi e-Faktur sedikit banyak mengubah pola kerja. Bagaimana tidak, bertransaksi dengan pemerintah itu sama saja membawa birokrasi ke kantong kita. Serba tidak pasti. Apa saja yang perlu disikapi terkait kebijakan e-Faktur untuk Pengusaha Rekanan Pemerintah?
1.       Kepemilikan Sertifikat Elektronik
Bagi pengusaha rekanan pemerintah, terutama yang bergerak dibidang konstruksi, tentunya menerbitkan Faktur Pajak merupakan hal yang tidak sering dilakukan. Terkadang, hampir sepanjang tahun SPT Masa PPN yang dilaporkan selalu nihil. Namun, untuk menjaga peluang untuk ikut tender, seorang pengusaha berusaha mempertahankan status PKPnya (karena hampir semua tender, besar atau kecil nilainya, selalu mensyaratkan status PKP). Dengan ketidakpastian tender, urgensi memiliki Sertifikat Elektronik menjadi tidak pasti juga. Karena Sertifikat Elektronik merupakan sarana pengganti tandatangan basah menjadi elektronik jika menerbitkan Faktur Pajak secara elektronik (e-Faktur). Namun, dengan terbitnya PER-29/PJ/2015, kepemilikan Sertifikat Elektronikpun menjadi wajib bagi PKP di area yang telah ditetapkan sebagai PKP e-Faktur. Kenapa menjadi wajib? Karena pelaporan SPT Masa PPN bagi PKP yang telah ditetapkan sebagai e-Faktur harus menggunakan aplikasi e-Faktur. Sedangkan, aplikasi e-Faktur hanya dapat digunakan bila telah diregistrasi, dan registrasi aplikasi e-Faktur harus memiliki Sertifikat Elektronik.
Apakah ada yang janggal di sini? Ya, karena, fungsi e-SPT di aplikasi e-Faktur tidak menganut sistem penandatanganan secara elektronik. Sangat rancu jiga seorang PKP hendak melaporkan SPT Masa PPN Nihil tetapi harus memiliki tandatangan elektronik, padahal SPTnya sendiri harus ditandatangani secara basah dan diberikan langsung ke TPT (jika tidak menggunakan e-Filing ASP). Sepertinya DJP harus mengkaji kembali konsep tandatangan digital pada aplikasi e-Faktur. Terkait hal ini juga ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan petugas pajak, antara KPP dan pembuat regulasi, karena hingga sekarang, pelaporan SPT Masa PPN menggunakan aplikasi e-SPT Masa PPN 1111 masih diterima oleh KPP

2.       Penulisan Detil Barang
Bagi rekanan pemerintah yang biasanya menyediakan barang berupa ATK (alat tulis kantor) tentunya akan mblenger jika mendengarkan penjelasan dari Petugas Pajak, karena detil barang yang ada dalam kontrak harus diinput per barang. Bayangkan saja, ATK dengan jumlah yang sangat banyak namun nilainya kecil harus diinputkan ke dalam aplikasi. Tujuan dari pendetilan barang sebenarnya bagus, karena dapat menditeksi jenis usaha PKP. Namun, untuk kasus pengadaan ATK, tampaknya berlebihan jika harus diinput ulang. Walaupun secara jelas dalam regulasi yang ada, detil barang memang harus jelas dituliskan, namun selama ini, rekanan pemerintah terbiasa menginput “nama kontraknya” pada kolom detil barang. Jika cara itu salah, apa konsekuensi atas FP di masa lalu yang tertulis seperti itu? Menjadi Faktur Pajak tidak lengkap? PKP harus melakukan penggantian? Bagaimana jika tidak dilakukan penggantian? Cukup banyak variasi pertanyaan yang bisa diajukan.

3.       Tanggal Faktur VS Tanggal Pembayaran
Jika anda biasa bertransakasi dengan pemerintah, tentu hal biasa jika anda terlambat menerima pembayaran. Namun, sejak e-Faktur, tampaknya anda harus siap menalangi dulu “kurang bayar” dari e-Faktur yang telah anda terbitkan. Jika dulu anda dapat melakukan skema pembetulan e-SPT jika pembayaran sudah dilakukan, namun jika e-Faktur, saat sebuah e-faktur terupload, secara paksa dia akan masuk ke SPT jika dilakukan posting data masa terkait. Dan dengan demikian kolom SSP harus diisi. Namun ada trik yang sebaiknya segera diperbaiki oleh DJP, dimana kita dapat melaporkan SPT Nihil tanpa melaporkan e-Faktur yang telah terupload. Ya, cukup duplikasi aplikasi terkait, Aplikasi A untuk kepentingan penerbitan e-Faktur dan aplikasi B untuk kepentingan pelaporan SPT. Untuk kepentingan penerbitan e-Faktur (syarat bagi rekanan agar SP2D diterbitkan) gunakanlah aplikasi misal Faktur pajak tanggal 1 Agustus 2015. Nah jika pembayaran belu dilakukan hingga batas pelaporan, posting sajan SPT Nihil di aplikasi B. Jika pembayaran telah dilakukan di bulan  25 Desember misalnya, cukup ekspor faktur pajak dari aplikasi A ke Aplikasi B. Postinglah SPT pembetulan di aplikasi B. Nah, anda bisa lakukan pembayaran di Bulan Desember dan melakukan pelaporannya sekaligus tanpa harus “nalangi” PPN yang dipungut oleh pemerintah.

4.       1 Orang Banyak Perusahaan
Tentunya bagi anda yang sering berharap terhadap tender dari pemerintah, memiliki lebih dari 1 perusahaan adalah hal biasa. Namun dengan adanya e-Faktur, anda harus mengelola aplikasi yang lebih dari 1 juga. Apakah jika anda mengelola 5 perusahaan anda harus menggunakan 5 PC? Ternyata tidak, anda cukup meregistrasi 5 aplikasi di 5 folder yang berbeda.

5.       Tanggal Faktur Mundur
Tanggal Faktur Pajak tidak boleh mendahului tanggal Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak mulai diperkenalkan DJP sejak implementasi e-Faktur ke PKP tertentu. Tentunya ini menjadi pertanyaan. Jika ditanya, Petugas Pajak tidak memberikan aturan mana yang berbunyi seperti itu, namun lebih ke logika kenapa haris demikian. Bagi Pengusaha rekanan Pemerintah, membuat Faktur tanggal mundur adalah suatu hal yang biasa. Nampaknya dengan peraturan yang menggunakan ”logika” ini, kita harus membuat strategi khusus. Cara yang paling mungkin adalah menimbun NSFP di awal tahun pajak. Tentunya akan ada konsekuensi tambahan, yaitu ada tingkat kewaspadaan dari petugas pajak karena kita menimbun Nomor Seri. Apa bisa kita menimbun NSFP? Dulu mungkin jamannya permintaan harus ke KPP agak sulit di KPP tertentu, karena permintaan NSFP menjadi alat uji “kepatuhan” pembayaran pajak.  Namun sejak kebijakan permintaan NSFP secara online dibuka, kita bisa sepuasnya menimbun NSFP. Karena, ternyata e-Nofa online tidak memvalidasi riwayat penerbitan Faktur Pajak kita 3 masa terakhir, dan tidak mencegah kita meminta Nomor Seri berulang-ulang.

6.       Beda Orang Beda Mahzab
Sudut pandang orang pajak terkait beberapa regulasi berbeda-beda. Untuk keamanan anda, sebaiknya konsultasikan dan pelajari karakter AR pengawasan anda sebelum melakukan tips di atas. Karena jika salah membaca karakter AR, bisa-bisa anda dianggap pengedar Faktur Fiktif (generasi e-Faktur).

Demikianlah beberapa hal yang dirasakan PKP rekanan pemerintah terkait implementasi e-Faktur.

Jumat, 14 Agustus 2015

Pindah KPP? Bagimana e-Faktur saya?

Di dalam dunia usaha, perpindahan tempat usaha adalah hal yang sangat biasa. Banyak hal yang bisa jadi alasan, karena tempat usaha ngontrak atau memang mencari daerah yang lebih strategis. Perpindahan tempat usaha ini ternyata mempengaruhi pengadministrasian hak dan kewajiban perpajakan kita.
Kita tidak akan membahas bagaimana cara kita melakukan perpindahan KPP (untuk regulasi terkait pindah KPP, silahkan pelajari PER-20/PJ/2013 dan perubahannya), namun konsekuensi langsung terhadap pengoperasian aplikasi e-Faktur dan langkah-langkah apa saja yang harus kita jalani.
Apa yang harus kita lakukan jika melakukan perpindahan KPP?
Pertama; kita harus melakukan permintaan Kode Aktivasi dan Password  e-Nofa ulang. Hal ini merujuk ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor  PER-24/PJ/2012 dan perubahannya, di mana, PKP harus mengajukan kembali di KPP baru. Mungkin untuk yang terburu-buru ingin menerbitkan Faktur Pajak akan sedikit geregetan, karena Kode Aktivasi harus dikirimkan ke alamat baru kita. Khabarnya, ini digunakan sebagai media verifikasi alamat.
Kedua; setelah Kode Aktivasi dan password ada digenggaman tangan, kita harus melakukan aktivasi ulang aplikasi e-Faktur. Aplikasi yang mana? Bukan aplikasi e-Faktur anda sebelumnya, tetapi aplikasi baru yang kosong. Saya sarankan anda untuk mengunduh langsung dari link download di efaktur.pajak.go.id. Apakah kita perlu melakukan permintaan Sertifikat Elektronik baru? Jawabannya tidak. Anda cukup unduh ulang saja Sertifikat Elektronik dari menu Download Sertifikat Digital  di laman efaktur.pajak.go.id. Cara registrasi tentu anda sudah tahu, jika kurang menguasai, cukup melihat video tutorial atau datang saja ke KPP tempat anda terdaftar.
Ketiga; lakukan ekspor semua data di menu faktur dan/atau dokumen lain dari aplikasi lama anda
Keempat; lakukan impor data dari aplikasi lama anda ke aplikasi baru

Setelah anda melakukan ke-empat step tadi, anda siap menerbitkan e-Faktur kembali


Jika anda mengalami kendala dalam mengoperasikan aplikasi e-Faktur akibat anda pindah KPP, mohon share masalah anda di sini, agar bisa menjadi manfaat bagi pembaca lainnya.

Senin, 10 Agustus 2015

Konsekuensi Pembatalan e-Faktur

Di tulisan terdahulu telah kita bahas terkait penggantian dan pembatalan Faktur Pajak di e-Faktur (Baca : Pembatalan atau Penggantian?), kali ini kita akan bahas konsekuensi dari pembatalan e-Faktur.

Hasil sharing dari pengguna e-Faktur, sering sekali terjadi kesalahan penulisan (akibat permintaan pembeli) yang menyebabkan pengguna melakukan pembatalan e-Faktur tanpa memperhatikan regulasi terkait. Jika kita memperhatikan pasal 6 dan pasal 7 PER-16/PJ/2014 tentang e-Faktur, sangat jelas sekali kriteria pembatalan e-Faktur, yaitu terjadi pembatalan transaksi. Namun, tampaknya regulasi ini tidak secara saklek diadopsi oleh aplikasi e-Faktur, karena muncul kriteria baru atas pembatalan e-Faktur, yaitu, kesalahan yang terjadi pada kolom NPWP pembeli dan tanggal transaksi HARUS dibatalkan, walaupun transaksi tidak dibatalkan. Namun, pada kenyataannya, kesalahan-kesalahan penulisan (tanpa pembatalan transaksi) di kolom yang lain, sering kali pengguna memilih untuk melakukan pembatalan e-Faktur. Dalih yang sering digunakan adalah permintaan dari pembeli, terutama pembeli yang berencana menggunakan e-Faktur tersebut sebagai PM yang ingin meminimalisir risiko dikoreksi oleh Pemeriksa Pajak jika suatu saat harus diperiksa.

Apa konsekuensi tambahan atas pembatalan e-Faktur? dalam regulasi e-Faktur tidak diatur dengan jelas, namun ada aturan "karet" yang mengarahkan kita ke pasal terkait pembatalan Faktur Pajak di regulasi umum Faktur Pajak (PER-24/PJ.2012 dan perubahannya)
"ketentuan terkait e-Faktur yang tidak diatur khusus mengikuti ketentuan PER-24/PJ/2012 dan perubahannya"

dimana untuk pembatalan Faktur Pajak (lampiran VI huruf C PER-24/PJ/2012)
  1. didukung dokumen yang membuktikan pembatalan transaksi;
  2. PKP yang membatalkan harus mengirimkan surat pemberitahuan dan melampirkan copy Faktur Pajak ke KPP tempat terdaftar dab KPP tempat pembeli terdaftar
Nah, bagaimana jika pembatalan e-Faktur dilakukan bukan karena pembatalan transaksi? Menurut keterangan dari salah satu petugas pajak di KPP, jika terjadi pembatalan e-Faktur yang bukan karena pembatalan transaksi, kita diarahkan untuk:
  1. membuat Berita Acara pembatalan e-Faktur (tidak ada regulasi perpajakan yang mengatur formatnya) yang ditandatangani oleh PKP penjual dan pembeli;
  2. melaporkannya ke KPP penjual dan pembeli
Secara pribadi, saya agak bingung atas keterangan petugas pajak terkait pembatalan e-Faktur bukan karena pembatalan transaksi karena:
  1. tidak ada cantolan hukumnya atas tindaklanjut pembatalannya (BA saja tidak diatur bentuknya)
  2. dalam hal terjadi kesalahan NPWP, kita harus membuat BA ditandatangani oleh pemilik NPWP yang salah tadi dan dikirim ke KPP tempat NPWP salah terdaftar, padahal mungkin saja kita tidak pernah berinteraksi dengan pemilik NPWP salah tersebut (apakah pemberitahuan ini bermanfaat bagi Ditjen Pajak perlu dikaji lagi, karena kurang selaras dengan filosofi e-Faktur yang berusaha mendigitalisasi Faktur agar paperless dan menyederhanakan administrasi PPN di sisi Ditjen Pajak).
Jadi, disimpulkan, jika anda terlanjur membatalkan e-Faktur walaupun tidak ada pembatalan transaksi, segera konsultasikan ke Account Representative anda. Jika solusinya harus membuat BA, pastikan anda memperoleh informasi resmi secara tertulis agar tidak disalahkan pihak Ditjen Pajak saat ada pemeriksaan atau kegiatan lainnya, karena jika ditelusuri, tidak ada regulasi khusus atau umum yang mengatur pembatalan Faktur Pajak yang diakibatkan BUKAN karena pembatalan transaksi. Untuk kedepannya, coba berhati-hati dalam membuat e-Faktur, dan sebisa mungkin menggunakan skema penggantian e-Faktur jika terjadi kesalahan penulisan pada e-Faktur.

Perubahan ke-3 PER-38/PJ/2009 tentang SSP

Pada tanggal 5 Agustus 2015 telah ditetapkan perubahan ke-3 PER-38/PJ/2009, PER-30/PJ/2015 tentang Bentuk Formulir SSP. Perubahan dipicu oleh terbitnya

  1. Peraturan Menteru Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 (perubahan PMK 253/PMK.03/2008 tentang WP Badan tertentu sebagai pemungut PPh dari pembeli atas penjualan barang mewah);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.010/2015 (perubahan PMK 154/PMK.03/2010 terkait pemungutan PPh pasal 22 atas pembayaran kegiatan impor)
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Pokok perubahannya adalah sebagai berikut:
  1. mengubah petunjuk pengisian
  2. mengubah jenis setoran 403 pada kode akun pajak 411122 (PPh 22)
  3. menambah jenis setoran  404 pada kode akun pajak 411122
  4. menambah akun pajak dan jenis setoran Pajak Bumi dan Bangunan.
untuk lengkapnya dapat dilihat di dokumen aslinya (klik di sini)


Sabtu, 01 Agustus 2015

Dapatkah Kita Bertransaksi Jika Server e-Faktur Down?

Salah satu yang sering kite temui terhadap layanan elektronik yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah ketidak-yakinan kelangsungan layanan itu sendiri. Kalo tidak lemot ya sering maintenis. Bagaimana dengan e-Faktur?

Baru-baru ini warga Jakarta disuguhkan sebuah informasi yang tidak terlalu luar biasa, bahwa terjadi kebakaran di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (31/07/2015). Kenapa tidak luar biasa? karena memang piranti keamanan gedung di Indonesia kurang diperhatikan pengelola gedung dan pemerintah setempat. Tentu anda ingat kan, peristiwa kebakaran sebelumnya yang membuat Tim Damkar mengoperasikan perdana sky lift. Tapi, bagi anda seorang pengusaha, terutama yang ada di Pulau Jawa Bali, idealnya anda akan sedikit khawatir, karena yang terbakar adalah Kantor Pusat Pajak bukan seperti kejadian sebelumnya yang dialami KPP Pratama Blora (20/07/2015). Kenapa harus khawatir? jika Kantor Pusat Pajak tidak memiliki prosedur Disaster Recovery Plan, tentunya anda akan kesulitan menerbitkan Faktur Pajak (e-faktur). Tapi untungnya, kebakaran di unit pajak seperti KPP Blora tidak mempengaruhi Wajib Pajak di areanya untuk tetap menerbitkan Faktur Pajak dan Kebakaran di Kantor Pusat Pajak tidak mempengaruhi kinerja sistem di DJP (terbukti tanggal 1 Agustus 2015 saya masih bisa mengakses efaktur.pajak.go.id)

Apakah DJP memiliki Disaster Recovery Plan? saya yakin ada.
Apakah DJP dapat menjalankan Disaster Recovery Plan jika terjadi sesuatu hal pada sistem? ini yang perlu dipertanyakan, karena belum pernah ada disaster yang menguji DRP mereka

Karena belum teruji, apa yang perlu kita persiapkan jika server e-faktur down?
Sebenarnya DJP tidak terlalu Pe De juga dengan sistem yang mereka bangun, entah tidak Pe De, hanya formalitas, atau memang mereka selalu mengantisipasi setiap keadaan, karena pada Peraturan Dirjen Pajak yang mengatur terkait e-Faktur disisipi pasal terkait Keadaan Tertentu.
"Pasal 9
(1) Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang menyebabkan Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membuat e-Faktur, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy).
(2) Keadaan tertentu yang menyebabkan Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membuat e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keadaan yang disebabkan oleh peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan sebab lainnya di luar kuasa Pengusaha Kena Pajak, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan telah berakhir oleh Direktur Jenderal Pajak, data Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang dibuat dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak."
Jadi, saat keadaan yang mereka definisikan sebagai keadaan tertentu dan ditetapkan Dirjen Pajak terjadi, apa yang harus kita lakukan?

jawabannya silahkan membuat Faktur Pajak kertas.

Timbul pertanyaan selanjutnya. Bagaimana caranya? saya jawab entah. Mungkin juga merujuk ke PER-24/PJ/2012 dan perubahannya.

Okelah kita asumsikan pembuatan FP Kertas itu merujuk ke PER-24/PJ/2014, timbul masalah selanjutnya, bagaimana jika kita tidak memiliki stok Nomor Seri Faktur Pajak?

Itu perlu dipertanyakan lagi ke Pihak Ditjen Pajak,

Yang Pasti, dengan adanya Pasal 9 PER Dirjen Nomor PER-16/PJ/2014 ini, Dirjen Pajak memberikan jaminan bahwa Faktur Pajak tetap bisa terbit walaupun ada teroris menghancurkan ruang server DJP berikut perangkat data center cadangan (jika ada).

Sebagai PKP yang skeptis terhadap produk layanan pemerintah yang sedikit sekali ditemukan dapat dihandalkan, sepertinya kita harus membuat DRP  kita sendiri. Bagaimana caranya? Stock saja Nomor Seri sebanyak-banyaknya, karena jika sistem  di DJP mati, kita tidak dapat melakukan permintaan Nomor Seri. Toh sekarang permintaan Nomor Seri cukup mudah, dapat dilakukan secara online. Walaupun ternyata ada skenario lain terkait tata cara pembuatan faktur pajak pada keadaan tertentu, paling tidak kita sudah mengantisipasi stock Nomor Seri.

Apakah anda sudah memiliki cadangan Nomor Seri?
Saya tidak, toh saya bukan PKP...

Selamat berbisnis